Beranda | Artikel
Tafsir Surat Ath-Thalaq: Talak Satu, Dua, Tiga
Selasa, 16 Juli 2019

Berikut kita akan kaji mengenai surah Ath-Thalaq, mudah-mudahan berawal dari ayat pertama ini, kita bisa mendapatkan pelajaran-pelajaran di dalamnya.

 

Surah Ath-Thalaq #01

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS. Ath-Thalaq: 1)

 

Penjelasan ayat

 

Dalam Zaad Al-Masiir (8:287), Az-Zujaj rahimahullah berkata ayat ini ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum mukminin secara umum. Demikian pula dinyatakan oleh Syaikh As-Sa’di dalam kitab tafsirnya.

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu”,maksudnya jika engkau ingin mentalak istrimu, maka lakukanlah talak tersebut dengan cara yang disyariatkan. Jangan buru-buru untuk mentalak sampai ditemukan ada sebab, jangan pula sampai tidak memperhatikan aturan Allah.

Sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaad Al-Masiir (8:287-288), sebab turunnya ayat ini ada dua pendapat:

Pertama: Ayat ini turun ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mentalak istrinya Hafshah binti Umar bin Al-Khaththab. Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam rujuk dengannya.

Tentang keutamaan Hafshah disebutkan dalam hadits dari Anas bin Malik dan Qais bin Zaid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ لِي جِبْرِيْلُ: رَاجِعْ حَفْصَةَ، فَإِنَّهَا صَوَّامَةٌ قَوَّامَةٌ، وَ إِنَّهَا زَوْجَتُكَ فِي الجَنَّةِ

Jibril berkata kepadaku, ‘Kembalilah (rujuklah) kepada Hafshah karena ia adalah wanita yang rajin berpuasa, rajin shalat malam, dan ia akan jadi istrimu di surga.’” (Diriwayatkan oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 6061. Hadits ini sahih).

Kedua: Ayat ini diturunkan kepada ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang telah mentalak istrinya ketika haid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memintanya rujuk pada istrinya kemudian menahannya hingga istrinya suci. Demikian pendapat dari As-Sudi.

Hadits-hadits yang membicarakan talak yang dilakukan Ibnu Umar adalah dalil-dalil berikut ini.

Kala itu ‘Umar mengadukan kasus anaknya (Ibnu ‘Umar) lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا

Hendaklah ia merujuk istrinya kembali.” (HR. Bukhari, no. 5251 dan Muslim, no. 1471). Perintah rujuk itu karena talak telah teranggap jatuh.

Dari Anas bin Sirin, ia berkata, “Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata bahwa ia telah mentalak istrinya dalam keadaan haid. Lantas ‘Umar mengadukan hal ini pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Suruh ia untuk rujuk.” Aku (Anas berkata pada Ibnu ‘Umar), “Apakah hal itu dianggap jatuh talak?” Ibnu ‘Umar menjawab, “Kalau tidak teranggap, lalu apa?” (HR. Bukhari, no. 5252 dan Muslim, no. 1471)

Dari Qatadah, ia berkata bahwa ia mendengar Yunus bin Jubair berkata, “Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata bahwa ia pernah mentalak istrinya dalam keadaan haid. Lalu ‘Umar mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengadukan perihal anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لِيُرَاجِعْهَا. فَإِذَا طَهَرَتْ فَإِنْ شَاءَ فَلْيُطَلِّقْهَا

Perintahkan ia untuk rujuk pada istrinya. Jika istrinya telah suci dan ia mau, ia bisa mentalaknya.” Yunus berkata pada Ibnu ‘Umar, “Apakah engkau menganggap jatuh talak?” Ibnu ‘Umar menjawab, “Apa yang menghalanginya? Talak tersebut tidak terhalang walau karena kelemahan atau kebodohannya.” (HR. Bukhari, no. 5258 dan Muslim, no. 1471)

Dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Hal itu dihukumi sekali talak.” (HR. Bukhari, no. 5253)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia telah mentalak istrinya ketika haid. Lalu ‘Umar mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengadukan hal tersebut. Kemudian beliau menganggapnya satu kali talak. (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 7:326, Ath-Thoyalisi dalam musnadnya, 68)

Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa talak ketika haid tidak teranggap. Inilah pendapat ulama Zhahiriyah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim. Namun pendapat jumhur ulama yang menyatakan talak ketika haid itu teranggap dinilai lebih kuat karena riwayat-riwayat yang telah disampaikan di atas.

Sebagaimana diterangkan dalam riwayat Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk rujuk. Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad menyatakan bahwa perintah rujuk tersebut dihukumi sebagai anjuran atau sunnah (bukan wajib). Sedangkan Imam Malik menilainya wajib. Lihat bahasan Shahih Fiqh As-Sunnah, 3:296-300.

Dalam ayat disebutkan maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)”,yang dimaksud adalah talaklah di masa ‘iddah mereka yaitu suci. Ini berlaku jika istri sudah digauli, lalu dicerai. Sedangkan jika istri belum digauli, maka tidak ada ‘iddahnya.

 

Mengenal talak bid’iy dan talak sunniy

 

Imam Ibnul Jauzi dalam kitab tafsirnya (Zaad Al-Masir, 8:288) menyatakan bahwa talak itu ada dua macam, yaitu talak bid’iy dan talak sunniy.

Talak sunniy adalah mentalak istri ketika suci sebelum disetubuhi. Itulah namanya mentalak ketika masa ‘iddah. Kalau ditalaknya ketika suci, maka masa suci ketika ditalak masuk dalam hitungan masa menunggu (‘iddah), sehingga masa ‘iddah tidak terlalu lama.

Talak bid’iy adalah mentalak istri ketika haid atau mentalak istri ketika suci setelah disetubuhi. Maka seperti itu jatuh talak, namun yang menjatuhkan berdosa.

Yang termasuk dalam talak bid’iy pula adalah mentalak istri tiga kali sekaligus dalam sekali masa suci. Menurut madhzab Imam Ibnul Jauzi, yaitu madzhab Hambali, hal itu termasuk bid’ah.

 

Hitung masa ‘iddah

 

Dalam ayat dilanjutkan dan hitunglah waktu iddah itu, maksudnya adalah masa ‘iddah diperintahkan untuk dihitung. Ini punya faedah yaitu di antaranya memperhatikan waktu kapan rujuk, bagaimana nafkah dan tempat tinggal, juga bagaimanakah ketentuan jika sudah mentalak tiga kali hingga jadinya talak bain, juga tentang keputusan laki-laki bisa menikahi lagi saudara dari mantan istrinya, atau menikah lagi hingga empat istri. Demikian penjelasan Imam Ibnul Jauzi dalam Zaad Al-Masir, 8:288.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menerangkan, “‘Iddah bisa dihitung dengan masa haid jika masih mengalami haid, bisa pula dengan hitungan beberapa bulan jika tidak mengalami haid, ini semuanya jika tidak hamil. ‘Iddah ini untuk memenuhi hak Allah, memenuhi hak suami yang mentalak, memenuhi hak laki-laki yang menikahinya setelah itu, hak nafkah dan semacamnya.”

 

Kesimpulan hitungan masa ‘iddah

1- Wanita yang ditinggal mati suami

(a) Wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil, masa ‘iddahnya adalah dengan melahirkan, baik masa kelahiran dekat atau jauh.

(b) Wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan tidak hamil, masa ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari, baik sesudah disetubuhi ataukah tidak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqarah ayat 234.

2- Wanita yang tidak ditinggal mati suami

(a) Wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil, masa ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan.

(b) Wanita yang memiliki quru’ bagi wanita yang masih mengalami haidh, yaitu ia menunggu sampai tiga kali quru’.

Yang dimaksud quru’ di sini diperselisihkan oleh para ulama karena makna quru’ yang dapat dipahami dengan dua makna (makna musytarok). Ada yang berpendapat makna quru’ adalah suci, seperti pendapat dalam madzhab Syafi’i. Ada yang berpendapat, maknanya adalah haidh.

Pendapat yang lebih kuat setelah penelusuran dari dalil-dalil yang ada, yaitu makna tiga quru’ adalah tiga kali haidh.

(c) Wanita yang tidak memiliki masa haidh yaitu anak kecil yang belum datang bulan dan wanita yang monopause (berhenti dari haidh), maka masa ‘iddahnya adalah tiga bulan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surah Ath-Thalaq ayat 4.

(d) Wanita yang dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak memiliki masa ‘iddah sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Ahzab ayat 49.

Masih berlanjut Insya-Allah.

 


 

Disusun pada pagi hari @ Darush Sholihin, 13 Dzulqa’dah 1440 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 


Artikel asli: https://rumaysho.com/20869-tafsir-surat-ath-thalaq-talak-satu-dua-tiga.html